Sunday, July 12, 2015

Menari Ditengah Hujan

Senja mulai menghiasi langit, warna gelap akibat hujan mulai tersapu dengan warna senja yang mulai datang mengganti latar keindahan dari langit, awan-awan yang membawa berkah dari tetesan air mulai mengurangi kadarnya sehingga aktiftas manusia kembali berjalan.

Tanah yang semulanya kering telah becek sehingga membuat pejalan kaki mesti berhati-hati ketika melangkah. Aktifitas yang sebelumnya terhenti mulai berjalan ditandai dengan orang-orang yang mulai lalu lalang setelah sebelumnya berteduh untuk menghindari basah karena hujan.

Aku masih saja duduk terdiam di salah satu halte dekat taman dengan pikiran melayang. Tas ransel kumul yang senantiasa menemaniku dari kuliah sampai sekarang masih terpasang dipundakku. Tas ransel berisikan lamaran pekerjaan disertai dengan legalisir ijazah dan transkip nilai masih berada pada dalam tas dan tak sekalipun aku keluarkan dari tasku. Lalu lalang orang-orang yang mulai kembali ke tempat peristirahatan setelah seharian bekerja untuk memenuhi kehidupan tak sama sekali dihiraukanku. Penolakan-penolakan dari berbagai perusahaan atau instansi membuat semangatku menjadi kendor. Persaingan lapangan pekerjaan yang semakin ketat karena tak sebandingnya jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia dengan pelamar yang bertambah ratusan setiap tahun.

Aku mulai berdiri dan berjalan dengan langkah yang lemah menyusuri trotoar untuk kembali ke tempat peristirahatanku.

“Sampai kapan aku jadi pengangguran begini? Seharian nyari kerja ga ada satupun yang menerimaku” gumamku dalam  hati.

Pertanyaan itu terus berputar-putar di dalam benakku. Teringat kembali tabunganku yang semakin menepis. Pernyataan bapak yang mengatakan bahwa beliau sudah mulai menghentikan kiriman uangnya karena statusku sekarang telah menjadi seorang sarjana sehingga dunia yang begitu luas dan membahagiakan terasa sempit jika aku mengingat semua hal itu.

Langkah gontai menemaniku menenteng tas ransel. Sesekali aku harus menghindari tanah-tanah yang becek karena hujan. Langkah gontaiku terhenti ketika melihat sebuah warkop yang terletak  di seberang jalan. Keinginanku untuk ngopi sejenak mulai timbul ketika melihat begitu banyak pengunjung diwarkop tersebut sedang menikmati secangkir kopinya diselingi canda tawa bersama rekan-rekannya.

“Mungkin dengan ngopi perasaanku bisa sedikit tenang” Kataku  dalam  hati seraya menyeberangi jalan karena letak warkop tersebut berseberangan  dengan jalan yang kulewati.

Menikmati segelas kopi sambil memandang aktifitas orang-orang yang baru selesai melaksanakan  kewajibannya ditempat kerja menjadi temanku dalam menikmati segelas kopi sambil sesekali memandang kelangit dengan tatapan kosong memikirkan kemana lagi aku harus mencari kerja.

Tatkala memandang orang–orang yang sedang melintas, pandanganku tertuju pada seorang bapak yang menjual gorengan. Nampak jelas bahwa bapak itu telah berumur diatas 50 tahun sambil mendorong gerobaknya dan menawarkan gorengan yang ada digerobaknya kepada orang-orang yang berlalu-lalang dengan tersenyum. Secara samar-samar aku mendengar bapak tersbeut mengatakan

“Mari pak, beli gorengannya” Seraya tersenyum walaupun orang-orang mengacuhkannya.
Entah kenapa senyuman bapak tua tersebut mengunggah hatiku untuk membeli gorengan bapak tua itu.
“Pak, kemari pak. Saya mau beli gorengan” Kataku setengah  berteriak kepada bapak itu.
“Iya pak, tunggu” Sambil tersenyum.
Langkahnya yang pelan mengarah kepadaku menandakan bahwa usianya sudah tak seproduktif dulu ketika masih muda.
“Beli berapa pak” Sambil mengambil kantongan kresek, menunggu aba-abaku tentang harga berapa yang bakalan ku beli.
“lima ribu aja pak” Kataku sambil tersenyum.
“Baik pak” Sambil membalas senyumanku dan memasukkan gorengan kedalam kertas kresek.

Sesekali aku masih mendengar canda tawa pengunjung warkop diselingi dengan musik koes plus yang alunannya memberikan semangat setelah seharian bekerja.

“Maaf pak, kalau boleh tahu bapak kok selalu tersenyum kepada mereka padahal mereka ga berniat membeli pak? Kataku dengan sangat sopan.
“hmmm.. senyum itu adalah ibadah, walaupun mereka mengacuhkanku aku akan tetap tersenyum dan menawarkan gorenganku. Selain itu, ketika aku tersenyum aku merasa bahagia” tutur bapak tua.
“Tersenyum bisa membuat bapak bahagia, kok bisa??” sambungku dengan penasaran.
“Iya karena dengan tersenyum aku merasa bahagia tak peduli aku bekerja sebagai penjual gorengan. Kebahagiaan hati lah menurutku yang penting dan salah satunya dengan tersenyum. Dengan tersenyum aku merasa mempunyai kepuasan batin. Walaupun himpitan hidup menimpaku, tapi aku menjalani semuanya dengan senyuman. Aku belajar makna kehidupan dari mereka” Sambil menunjuk segerombolan anak yang tertawa setelah hujan yang mengguyur hujan.
“Menari ditengah hujan” Lanjut bapak tua.
“Menari ditengah hujan? Maksudnya gimana pak?“ Tanyaku dengan penuh keheranan.
“Perhatikan anak-anak itu. Walaupun hujan tersebut mengguyur mereka dan membasahi tubuh mereka.. Mereka tetap tertawa. Padahal dari segi kesehatan hujan tersebut bisa menyebabkan mereka menjadi sakit. Namun lihatlah mereka, mereka tersenyum dan tertawa dan menghiraukan efek dari hujan. Mereka tetap bergembira, mereka seperti menari ditengah hujan. Saya misalkan masalah itu bagaikan hujan dan lihatlah mereka, mereka tetap bergembira menghadapi masalah itu laksana menari ditengah hujan” Tutur bapak itu menjawab penasaranku.
“Jadi, saya menjalani kehidupan ini dengan senyuman dan tetap tegar karena saya tahu bahwa semua maslah hidup yang menmpa saya datang dariNYA. Dan saya akan tetap menjalani semuanya dengan senyuman bahkan dengan tarian, yaitu tarian kebahagiaan. karena saya tahu, dibalik semua itu ada hikmah yang akan menggantikan masalahku sehingga aku melupakan masalah itu karena hikmahnya yang begitu besar yang aku terima dari ALLAH. Saya akan tetap bersyukur menjalani semuanya” Lanjut bapak tua memberikan penjelasan smbil tersenyum kearahku.

Aku membalas senyuman bapak itu dan sejenak berpikir bahwa tindakan mengeluh yang aku utarakan tentang tak ada pekerjaan menerimaku dan selalu meratapi nasibku merupakan sebuah tindakan salah. Nasehat bapak tadi benar-benar menyentuh diriku yang paling dalam. Perkataannya seperti air dingin yang diteguk di panas matahari oleh musafir. 

Aku benar-benar tersentuh sampai aku melamun memikirkan setiap pernyataan yang  dikatakan oleh bapak tua itu.

“Ehh,, ngomong-ngomong pak, saya lanjut dulu ya..” Tutur bapak tua.
Perkataannya membuyarkan lamunanku.
“Oh iya pak, terima kasih penjelasanya... Nihh uangnya pak” Kataku sambil memberikan uang sepuluh ribu rupiah.
“Ini kembaliannya pak” Bapak tua menyodorkan kembalian uang lima ribu rupiah.
“Gausah pak, ambil aja” Sambil menolak halus pemberian kembalian uang yang diberikan oleh bapak penjual gorengan itu
“Wahh,, terima kasih pak. Alhamdulilah, Saya permisi dulu pak. Assalamualaikum” Bapak tua itu bersiap mendorong kembali gerobak tua yang dimilikinya untuk kembali menawarkan gorengan yang dibawanya.
“Iya pak, sama.sama” Balasku sambil tersenyum.

Sejenak aku berpikir bahwa yang dikatakan bapak itu benar adanya. Aku terlalu banyak mengeluh dengan pekerjaan yang tak kudapat-dapat sampai aku lupa untuk bersyukur. Padahal disekitarku begitu banyak kebahagiaan yang mungkin ga diperoleh orang lain. Aku selalu mengeluh padahal semestinya aku mesti bersyukur dan tetap bersemangat mencari pekerjaan. Aku harus menjalani semuanya dengan semangat dan yakin usahaku ga akan sia.sia. Aku ingin menari ditengah hujan”

No comments:

Post a Comment