Sunday, June 21, 2015

Nurani dan Doa Berbicara

Matahari sinar tampak menyinarkan oase panasnya, debu yang beterbaran menerpa muka siapa saja yang mencoba membelahnya. Siang itu tampak bersahabat bagi Andi. Semenjak siang tadi Andi nampak mondar-mandir disekitar halaman rumahnya. Tampak wajah yang penuh dengan kebingungan melanda dirinya. Sedari pukul 10 tadi, dia begitu gelisah memikirkan ibunya yang sedang sakit keras.

Andi sangat mencintai ibunya. Ibu merupakan wanita yang sangat hebat buat dirinya. Beliau senantiasa keras menghidupi dirinya semenjak ayahnya wafat ketika dia berumur 10 tahun karena sakit keras. Ibu ibarat oase buatnya dikala tak mendapat kasih sayang dari ayahnya.

Matanya tampak bekaca-kaca, cuaca panas tak lagi menjadi pikirannya saat ini.

“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” suara batinnya memecah keheningan dirinya
“Apa aku harus mengambil uang perusahaanku untuk mengobati ibuku yang sedang sakit? Toh... Ga ada yang mengetahuinya. Nanti ketika ada uang pasti bakalan kugant” gumamnya dalam hati

Kegelisahan yang menghampirinya bukan karena niatnya untuk meminjam uang perusahaan tempat dimana selama ini dia bekerja, melainkan amanah yang dipercayakan kepadanya untuk menjaga uang tersebut untuk disimpan dan pimpinan perusahaan melarangnya untuk memakainya karena suatu saatu uang itu akan dipergunakan untuk membayar bonus buat karyawan-karyawan.

Keringat terus membasahi baju putihnya, butir-butir keringat ibarat yang keluar dari keningnya ibarat butiran jagung yang menandakan ketidaktenagan dalam dirinya. Dikala kebingungan yang sedari tadi menghampiri pikirannya,  nurani berkata pada dirinya.

“Jangan pergunakan uang itu karena itu merupakan amanah yang dititpkan kepadamu.” teriak nuraninya.

Waktu terus bergulir, matahari semakin menunjukkan kuasanya sebagai penguasa di siang hari. Peluh keringat yang sedari tadi menees saling berlomba dengan suara batuk yang terdengar dari kamar ibunya yang sejak pagi tadi batuk secara terus-menerus. Pikirannya benar-benar kacau. Apa yang harus dilakukannya.

Tak terasa setetes air mata keluar dari matanya, kebingungan membuatnya semakin kalap dan berkeinginan untuk menggunakan uang itu untuk keperluan ibunya walaupun dia menyadari bahwa uang itu adalah amanah buatnya.

“Baiklah, saya akan menggunakan uang ini untuk membawa ibu kerumah sakit” gumamnya dalam hati.

Tatkala Andi hendak melangkahkan kakinya untuk mengambil buku rekening perusahaan dikamarnya, seketika itu suara azan zuhur memanggil dari masjid yang terletak diujung gang rumahnya, suara azan itu seperti mengajak manusia untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan memenuhi seruhan Ilahi.

Suara azan yang terdengar membuat kemantapan hatiya untuk membawa ibunya rumah sakit dengan menggunakan uang perusahaan terhenti. Keinginannya untuk melaksanakan sholat zuhur begitu besar. Tak pernah dia merasakan seperti ini sebelumnya.

Di siang hari yang panas, orang-orang  pada sibuk  dengan urusannya masing-masing. Andi melangkahkan kakinya untuk menuju masjid untuk melaksanakan sholat zuhur. Meminta petunjuk dan kemantapan hati tentang tindakan yang bakal dilakukannya.

Tatkala dia berdoa, menengadahkan tangan saat berdoa. Tak terasa air matanya menetes.
“Ya Allah, bantulah hambaMU ini. Apa yang harus hamba lakukan? Apakah hamba mesti mengambil uang perusahaan untuk membiayai biaya ibuku yang sedang sakit? Ataukah hamba harus tetap amanah dan menjaga uang itu” Bantulah hambaMU, pikiran hamba sedang kalut. Bantulah hamba”.

Tak terasa air matanya kembali membasahi pipinya, air mata yang keluar menunjukkan bahwa dia benar-benar pasrah dan meminta petunjuk dari Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, ALLAH SWT.

Ketika Andi hendak keluar dari masjid, masih dalam kegalauan batin. Dia melihat seorang pemuda yang sedang menjaga sendal-sendal. Entah kenapa muncul keinginannya untuk ngobrol dengan pemuda itu.

“De, sudah berapa lama kerja sebaagai penjaga sendal masjid kok baru saya lihat ya”,  katanya sambil tersenyum.
“Oh iya mas, saya baru dua hari bertugas menjaga sendal disini. Saya juga sudah minta izin ke  pengurus masjidnya” jawab si pemuda.
“Bagaimana penghasilannya?“ tanyanya lagi
“hehehe,, ga seberapa ka. Tapi alhamdulilah cukup untuk mengganjal perut kalau lagi lapar” jawab lagi si pemuda sambil ketawa
“Pernah ga terbesit untuk mengambil sendal disini?” Pertanyaan konyol itu entah kenapa secara spontan keluar dari mulutnya.

Pemuda itupun kaget dengan pertanyaan Andi, namun pemuda itu segera mengontrol dirinya dan menjawab pertanyaan tersebut.

“Keinginan untuk mengambil sandal disini ada ka, cuman saya tahu bahwa pengurus masjid dan jamaah dimasjid ini memberikan amanah kepada saya untuk menjaganya ketika mereka sholat, saya ga ingin menajdi orang yang munafik. Saya bukannya sok pintar dalam agama cuman sepengetahuan saya ada sebuah hadis yang mengatakan bahwa tanda-tanda orang munafik ada tiga; jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia ingkar, dan jika diberi amanah ia berkhianat” tutur pemuda itu dengan tenang.

Seketika itu Andi merasa seperti mendapatkan sengatan litsrik beribu-ribu volt, entah kenapa dia langsung beranjak pergi menuju rumahnya setelah sebelumnya memberi tip kepada pemuda tersebut

“Ya ALLAH, apakah aku akan menjadi seorang yang munafik” teriak batinnya. Seraya mempercepat langkah kaki menuju rumahnya.

Sesampainya di rumah, dia mendapati ibunya masih dalam kondisi yang sama yaitu batuk dan kondisi badannya lemas. 
Entah kenapa nuraninya kembali berkata
“Andi, jangan gunakan uang itu. Janganlah kamu menjadi orang yang munafik. Masih ada cara lain,  amanah adalah sebuah janji.” Bisikan nuraninya berkata dalam dirinya
Seketika itu keinginan untuk membawa ibunya kerumah sakit dengan menggunakan uang perusahaan sirna. Pikirannya melayang  dan pandangannya terhenti ketika dia melihat motor butut yamaha peninggalam sang ayah. Dia berencana untuk menggadaikan motor tersebut untuk membiayai ibunya.
Ketika hendak dia pamit untuk meminta izin kepada ibunya untuk menggadai motornya, ada panggilan telepon masuk ke handphonenya.
Seketika mengangkatnya, dia menyadari bahwa orang yang berbicara dengannya di telepon adalah salah satu pimpinan perusahaan tempat dia bekerja.
Wajahnya yang seduh karena memikirkan biaya kesehatan ibunya tiba-tiba menjadi berubah bahagia. Percakapan singkat antara  dirinya dan pemimpin perusahaan membuat dirinya menjadi seperti anak kecil yang kegirangan di berikan sebuah mainan oleh ibunya.
“Baik pak, terima kasih. Terima kasih sekali  pak” suara itu yang dia katakan diakhir pembicaraan.
Ketika dia menutup telepon tersebut, Andi langsung berjalan dengan tergesa menuju  kamar ibunya dan menyampaikan berita bahagia.
Ibunya yang keheranan mengatakan dengan suara parau.
“Uhhuukk. Ada apa nak? Kok kamu bahagia sekali” kata ibunya sambil sesekali batuk
“Alhamdulilah bu,  pimpinan perusahaan mengatakan bahwa bonus saya yang ada direkening sudah bisa saya ambil 10% nya” Kata Andi dengan sangat gembira
Seketika itu dia dan ibunya bersyukur dan membawa ibunya kerumah sakit untuk mendapatkan penangan dari dokter dirumah sakit.

No comments:

Post a Comment