Matahari
sinar tampak menyinarkan oase panasnya, debu yang beterbaran menerpa muka siapa
saja yang mencoba membelahnya. Siang itu tampak bersahabat bagi Andi. Semenjak
siang tadi Andi nampak mondar-mandir disekitar halaman rumahnya. Tampak wajah
yang penuh dengan kebingungan melanda dirinya. Sedari pukul 10 tadi, dia begitu
gelisah memikirkan ibunya yang sedang sakit keras.
Andi
sangat mencintai ibunya. Ibu merupakan wanita yang sangat hebat buat dirinya. Beliau
senantiasa keras menghidupi dirinya semenjak ayahnya wafat ketika dia berumur 10
tahun karena sakit keras. Ibu ibarat oase buatnya dikala tak mendapat kasih
sayang dari ayahnya.
“Apa
yang harus aku lakukan sekarang?” suara batinnya memecah keheningan dirinya
“Apa
aku harus mengambil uang perusahaanku untuk mengobati ibuku yang sedang sakit?
Toh... Ga ada yang mengetahuinya. Nanti ketika ada uang pasti bakalan kugant”
gumamnya dalam hati
Kegelisahan
yang menghampirinya bukan karena niatnya untuk meminjam uang perusahaan tempat
dimana selama ini dia bekerja, melainkan amanah yang dipercayakan kepadanya
untuk menjaga uang tersebut untuk disimpan dan pimpinan perusahaan melarangnya
untuk memakainya karena suatu saatu uang itu akan dipergunakan untuk membayar
bonus buat karyawan-karyawan.
Keringat
terus membasahi baju putihnya, butir-butir keringat ibarat yang keluar dari
keningnya ibarat butiran jagung yang menandakan ketidaktenagan dalam dirinya. Dikala
kebingungan yang sedari tadi menghampiri pikirannya, nurani berkata pada dirinya.
“Jangan
pergunakan uang itu karena itu merupakan amanah yang dititpkan kepadamu.”
teriak nuraninya.
Waktu
terus bergulir, matahari semakin menunjukkan kuasanya sebagai penguasa di siang
hari. Peluh keringat yang sedari tadi menees saling berlomba dengan suara batuk
yang terdengar dari kamar ibunya yang sejak pagi tadi batuk secara
terus-menerus. Pikirannya benar-benar kacau. Apa yang harus dilakukannya.
Tak
terasa setetes air mata keluar dari matanya, kebingungan membuatnya semakin
kalap dan berkeinginan untuk menggunakan uang itu untuk keperluan ibunya
walaupun dia menyadari bahwa uang itu adalah amanah buatnya.
“Baiklah,
saya akan menggunakan uang ini untuk membawa ibu kerumah sakit” gumamnya dalam
hati.
Tatkala
Andi hendak melangkahkan kakinya untuk mengambil buku rekening perusahaan
dikamarnya, seketika itu suara azan zuhur memanggil dari masjid yang terletak
diujung gang rumahnya, suara azan itu seperti mengajak manusia untuk
meninggalkan kehidupan duniawi dan memenuhi seruhan Ilahi.
Suara
azan yang terdengar membuat kemantapan hatiya untuk membawa ibunya rumah sakit
dengan menggunakan uang perusahaan terhenti. Keinginannya untuk melaksanakan
sholat zuhur begitu besar. Tak pernah dia merasakan seperti ini sebelumnya.
Di
siang hari yang panas, orang-orang pada
sibuk dengan urusannya masing-masing.
Andi melangkahkan kakinya untuk menuju masjid untuk melaksanakan sholat zuhur.
Meminta petunjuk dan kemantapan hati tentang tindakan yang bakal dilakukannya.
Tatkala
dia berdoa, menengadahkan tangan saat berdoa. Tak terasa air matanya menetes.
“Ya Allah, bantulah
hambaMU ini. Apa yang harus hamba lakukan? Apakah hamba mesti mengambil uang
perusahaan untuk membiayai biaya ibuku yang sedang sakit? Ataukah hamba harus
tetap amanah dan menjaga uang itu” Bantulah hambaMU, pikiran hamba sedang
kalut. Bantulah hamba”.
Tak
terasa air matanya kembali membasahi pipinya, air mata yang keluar menunjukkan
bahwa dia benar-benar pasrah dan meminta petunjuk dari Sang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang, ALLAH SWT.
Ketika
Andi hendak keluar dari masjid, masih dalam kegalauan batin. Dia melihat
seorang pemuda yang sedang menjaga sendal-sendal. Entah kenapa muncul
keinginannya untuk ngobrol dengan pemuda itu.
“De, sudah berapa lama kerja sebaagai penjaga sendal masjid kok baru saya lihat
ya”, katanya sambil tersenyum.
“Oh
iya mas, saya baru dua hari bertugas menjaga sendal disini. Saya juga sudah
minta izin ke pengurus masjidnya” jawab
si pemuda.
“Bagaimana
penghasilannya?“ tanyanya lagi
“hehehe,,
ga seberapa ka. Tapi alhamdulilah cukup untuk mengganjal perut kalau lagi
lapar” jawab lagi si pemuda sambil ketawa
“Pernah
ga terbesit untuk mengambil sendal disini?” Pertanyaan konyol itu entah kenapa
secara spontan keluar dari mulutnya.
Pemuda
itupun kaget dengan pertanyaan Andi, namun pemuda itu segera mengontrol dirinya
dan menjawab pertanyaan tersebut.
“Keinginan untuk mengambil sandal disini ada ka, cuman
saya tahu bahwa pengurus masjid dan jamaah dimasjid ini memberikan amanah
kepada saya untuk menjaganya ketika mereka sholat, saya ga ingin menajdi orang
yang munafik. Saya bukannya sok pintar dalam agama cuman sepengetahuan saya ada
sebuah hadis yang mengatakan bahwa tanda-tanda
orang munafik ada tiga; jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia ingkar,
dan jika diberi amanah ia berkhianat” tutur pemuda itu dengan tenang.
Seketika itu Andi
merasa seperti mendapatkan sengatan litsrik beribu-ribu volt, entah kenapa dia
langsung beranjak pergi menuju rumahnya setelah sebelumnya memberi tip kepada
pemuda tersebut
“Ya ALLAH, apakah
aku akan menjadi seorang yang munafik” teriak batinnya. Seraya mempercepat langkah
kaki menuju rumahnya.
Sesampainya di rumah, dia mendapati ibunya masih dalam kondisi
yang sama yaitu batuk dan kondisi badannya lemas.
Entah kenapa nuraninya kembali berkata
“Andi, jangan gunakan uang itu. Janganlah kamu menjadi orang yang
munafik. Masih ada cara lain, amanah
adalah sebuah janji.” Bisikan nuraninya berkata dalam dirinya
Seketika itu keinginan untuk membawa ibunya kerumah sakit dengan
menggunakan uang perusahaan sirna. Pikirannya melayang dan pandangannya terhenti ketika dia melihat
motor butut yamaha peninggalam sang ayah. Dia berencana untuk menggadaikan
motor tersebut untuk membiayai ibunya.
Ketika hendak dia pamit untuk meminta izin kepada ibunya untuk
menggadai motornya, ada panggilan telepon masuk ke handphonenya.
Seketika mengangkatnya, dia menyadari bahwa orang yang berbicara dengannya
di telepon adalah salah satu pimpinan perusahaan tempat dia bekerja.
Wajahnya yang seduh karena memikirkan biaya kesehatan ibunya
tiba-tiba menjadi berubah bahagia. Percakapan singkat antara dirinya dan pemimpin perusahaan membuat dirinya
menjadi seperti anak kecil yang kegirangan di berikan sebuah mainan oleh
ibunya.
“Baik pak, terima kasih. Terima kasih sekali pak” suara itu yang dia katakan diakhir
pembicaraan.
Ketika dia menutup telepon tersebut, Andi langsung berjalan dengan
tergesa menuju kamar ibunya dan
menyampaikan berita bahagia.
Ibunya yang keheranan mengatakan dengan suara parau.
“Uhhuukk. Ada apa nak? Kok kamu bahagia sekali” kata ibunya sambil
sesekali batuk
“Alhamdulilah bu, pimpinan
perusahaan mengatakan bahwa bonus saya yang ada direkening sudah bisa saya
ambil 10% nya” Kata Andi dengan sangat gembira
Seketika itu dia dan ibunya bersyukur dan membawa ibunya kerumah
sakit untuk mendapatkan penangan dari dokter dirumah sakit.
No comments:
Post a Comment